MENGETAHUI EMOSI, BUKAN ARGUMENTASI ALASAN

Oleh: Hingdranata Nikolay
Dalam sebuah perbedaan pendapat, argumentasi adalah hal yang sangat umum. Diawali dari yang kita sebut sebagai diskusi cerdas, dengan masing-masing pihak menunjukkan kecerdasannya dalam berbagai argumentasi atau alasan yang diberikan, bisa berakhir di kedua belah pihak sama-sama di tingkat emosional tinggi.
Interaksi jauh lebih sulit apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak memulai langsung dengan tingkat emosi yang tinggi, misalnya marah.
Salah satu pendekatan yang berguna untuk kedua belah pihak, adalah dengan mengetahui, apa yang sebenarnya mendasari emosi partner komunikasi. Sehingga responnya bukan 'Kamu tidak masuk akal dengan argumentasimu', tapi 'Apa yang membuatmu sebegitu emosional dengan argumentasimu'.
Mengetahui emosi di balik argumentasi partner komunikasi, membantu menjembatani empati dan membantu pemahaman satu sama lain. Seburuk apapun argumentasi seseorang di mata atau telinga kita, ada alasan emosional kuat. Apalagi kalau seseorang menunjukkan tingkat emosional tinggi saat mengatakan atau mempertahankannya.
Memahami 'aturan' emosi seseorang, memberi ruang bagi kita untuk bersikap dengan pilihan lain. Kalaupun setelah mengenai 'alasan' di belakang argumentasi seseorang, kita tetap tidak menemukan rasionalisasi sesuai pemikiran kita, dengan memahami 'hukum konsistensi', misalnya, di mana seseorang akan berusaha mempertahankan pernyataan yang telah ia keluarkan, kita pun bisa paham bahwa orang tersebut mungkin bukan mempertahankan argumentasinya, tapi harga dirinya. Dan ini pun memberi kita ruang lebih luas untuk bersikap.
Sangat menyenangkan apabila seseorang mundur sejenak, saat ia paham bahwa kita bukan orang bodoh dengan argumentasi kita, tapi kita terjebak dalam momentum emosi kita saja. Akan sangat membantu pula apabila partner komunikasi paham bahwa kita bukan orang tidak masuk akal dengan pendapat kita, tapi kita hanya sudah terlanjur mengatakan sesuatu dan malu menarik kembali pernyataan tersebut. Dan bagaimana kalau seseorang bisa membantu Anda keluar dari posisi memalukan diri sendiri dengan sikap bijaknya karena paham emosi Anda?
Dalam sebuah perbedaan pendapat, argumentasi adalah hal yang sangat umum. Diawali dari yang kita sebut sebagai diskusi cerdas, dengan masing-masing pihak menunjukkan kecerdasannya dalam berbagai argumentasi atau alasan yang diberikan, bisa berakhir di kedua belah pihak sama-sama di tingkat emosional tinggi.
Interaksi jauh lebih sulit apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak memulai langsung dengan tingkat emosi yang tinggi, misalnya marah.
Salah satu pendekatan yang berguna untuk kedua belah pihak, adalah dengan mengetahui, apa yang sebenarnya mendasari emosi partner komunikasi. Sehingga responnya bukan 'Kamu tidak masuk akal dengan argumentasimu', tapi 'Apa yang membuatmu sebegitu emosional dengan argumentasimu'.
Mengetahui emosi di balik argumentasi partner komunikasi, membantu menjembatani empati dan membantu pemahaman satu sama lain. Seburuk apapun argumentasi seseorang di mata atau telinga kita, ada alasan emosional kuat. Apalagi kalau seseorang menunjukkan tingkat emosional tinggi saat mengatakan atau mempertahankannya.
Memahami 'aturan' emosi seseorang, memberi ruang bagi kita untuk bersikap dengan pilihan lain. Kalaupun setelah mengenai 'alasan' di belakang argumentasi seseorang, kita tetap tidak menemukan rasionalisasi sesuai pemikiran kita, dengan memahami 'hukum konsistensi', misalnya, di mana seseorang akan berusaha mempertahankan pernyataan yang telah ia keluarkan, kita pun bisa paham bahwa orang tersebut mungkin bukan mempertahankan argumentasinya, tapi harga dirinya. Dan ini pun memberi kita ruang lebih luas untuk bersikap.
Sangat menyenangkan apabila seseorang mundur sejenak, saat ia paham bahwa kita bukan orang bodoh dengan argumentasi kita, tapi kita terjebak dalam momentum emosi kita saja. Akan sangat membantu pula apabila partner komunikasi paham bahwa kita bukan orang tidak masuk akal dengan pendapat kita, tapi kita hanya sudah terlanjur mengatakan sesuatu dan malu menarik kembali pernyataan tersebut. Dan bagaimana kalau seseorang bisa membantu Anda keluar dari posisi memalukan diri sendiri dengan sikap bijaknya karena paham emosi Anda?