PENGALAMAN MEMPENGARUHI ANALISA KEJUJURAN
Oleh: Hingdranata Nikolay
Memori adalah referensi terbaik seseorang untuk berpikir dan bertindak. Tapi dalam hal tertentu, memori bisa menyebabkan prasangka, yang akhirnya membuat evaluasi dan analisa kita terganggu bias.
Pengalaman pernah dibohongi seseorang dalam sebuah kasus, apalagi dalam kasus yang menyebabkan tingkat emosional tinggi, bisa mempengaruhi kecerdasan kita dalam menghadapi orang lain atau situasi di mana taruhannya besar. Pengalaman ini mempengaruhi penilaian kita terhadap apapun yang kita lihat, dengar atau rasakan.
Perilaku atau kata-kata yang jujur pun bisa terdengar bohong dari telinga dan mata yang serba curiga. Karena itu, mengenali atau sadar pada kecurigaan awal ini, dan bagaimana pengalaman bisa mempengaruhi evaluasi kita terhadap seseorang, bisa membantu kita menilai lebih bijaksana.
Hipotesa kita mengenai apakah seseorang jujur atau berbohong, bisa sangat dipengaruhi oleh kecurigaan kita terhadap seseorang, apalagi yang pernah berbohong kepada kita. Dan ini tetap saja bisa berguna. Tapi seringkali, membuat banyak bias dan kesalahan analisa. Terutama apabila kita menggunakan model perilaku orang yang pernah berbohong kepada kita, untuk menilai orang yang berbeda.
Kalau seseorang di masa lalu pernah berkata 'Saya cinta kamu', lalu kemudian kita buktikan ternyata berbohong, akan sangat tidak bijak untuk langsung menentukan kalimat 'Saya cinta kamu' berikutnya sebagai bohong juga. Atau kalau seseorang dengan etnis tertentu pernah melakukan tindakan penipuan terhadap kita, juga akan sangat bias untuk mengira bahwa siapapun dari etnis tersebut akan pasti berbohong juga.
Untuk itulah, penentuan baseline atau format dasar perilaku seseorang yang unik berdasarkan observasi, bisa sangat berguna, dibanding hanya memanfaatkan pengalaman pernah dibohongi.
Memori adalah referensi terbaik seseorang untuk berpikir dan bertindak. Tapi dalam hal tertentu, memori bisa menyebabkan prasangka, yang akhirnya membuat evaluasi dan analisa kita terganggu bias.
Pengalaman pernah dibohongi seseorang dalam sebuah kasus, apalagi dalam kasus yang menyebabkan tingkat emosional tinggi, bisa mempengaruhi kecerdasan kita dalam menghadapi orang lain atau situasi di mana taruhannya besar. Pengalaman ini mempengaruhi penilaian kita terhadap apapun yang kita lihat, dengar atau rasakan.
Perilaku atau kata-kata yang jujur pun bisa terdengar bohong dari telinga dan mata yang serba curiga. Karena itu, mengenali atau sadar pada kecurigaan awal ini, dan bagaimana pengalaman bisa mempengaruhi evaluasi kita terhadap seseorang, bisa membantu kita menilai lebih bijaksana.
Hipotesa kita mengenai apakah seseorang jujur atau berbohong, bisa sangat dipengaruhi oleh kecurigaan kita terhadap seseorang, apalagi yang pernah berbohong kepada kita. Dan ini tetap saja bisa berguna. Tapi seringkali, membuat banyak bias dan kesalahan analisa. Terutama apabila kita menggunakan model perilaku orang yang pernah berbohong kepada kita, untuk menilai orang yang berbeda.
Kalau seseorang di masa lalu pernah berkata 'Saya cinta kamu', lalu kemudian kita buktikan ternyata berbohong, akan sangat tidak bijak untuk langsung menentukan kalimat 'Saya cinta kamu' berikutnya sebagai bohong juga. Atau kalau seseorang dengan etnis tertentu pernah melakukan tindakan penipuan terhadap kita, juga akan sangat bias untuk mengira bahwa siapapun dari etnis tersebut akan pasti berbohong juga.
Untuk itulah, penentuan baseline atau format dasar perilaku seseorang yang unik berdasarkan observasi, bisa sangat berguna, dibanding hanya memanfaatkan pengalaman pernah dibohongi.